Hadooh, kok gini ya, nih bibir? Aku kembali memerhatikan bayangan bibirku di cermin. Sekarang lebih cermat. Benar. Beda warna. Ada kebiruan seperti lebam. Ditambah beberapa bintik gelap. Dan selama beberapa hari belakangan, kok terlihat lebih jelas, bukannya memudar. Dooh, kenapa sih, nih?
“Woi! Ngaca mulu! Sampe nggak sadar dipanggil-panggil dari tadi!” Lies mengejutkanku dengan tepukannya di bahu.
“Ya olo, Lies. Lo masuk lewat mana? Perasaan masih pagi bener dan rumah gue masih pada rapat pintunya.”
“Ampun dah, Uniq…. Nyokaplo tuh dari tadi udah mempersilakan gue masuk, langsung ke kamarlo yang pintunya kebuka ini.  Soalnya lo nggak keluar-keluar dipanggilin dari tadi.”
“Masak, sih?” sejenak aku linglung sendiri.
“Ya elo ngapain aja sih dari tadi ngaca nggak kelar-kelar? Dandan enggak, latihan akting juga enggak….” mata Lies menelusuri meja tempat aku duduk bercermin.
“Yeee…. Dari tadi ternyata lo merhatiin? Makasih, deh. Perhatian banget sih lo sama gue,” aku tertawa kecil, merasa tersanjung oleh kalimat yang kuciptakan sendiri.
“Ge-er! Kalo nggak janjian, gue juga malas ke sini pagi-pagi.”
“Oh, iya, ya, kita ada janji jogging bareng,” kataku menepuk dahi.
“Mulai deh lo, akting sekarang. Udah, ah, buruan. Entar cowok-cowok keren dipatok ayam lagi kalo kita kelamaan,” ujar Lies asal.
Minggu pagi itu aku, Lies, dan Mega emang janjian mau jogging. Tapi, nggak tahu kenapa, perasaan segan seketika muncul. Tepatnya saat buka mata tadi subuh. Pertama kali yang kuingat saat terjaga cuma bibirku yang kurasa jadi rada aneh. Makanya aku langsung bercermin, sampai kelupaan ada janji.
“Tapi, kayaknya gue pagi ini nggak bisa ikut, deh, Lies. Sorry banget!”
“Lho, kok? Udah gue samperin malah nggak mau berangkat? Yuk, ah. Si Mega dah nunggu di taman kompleks, tuh,” Lies tetap mengajakku.
“Iya, gue tahu, nggak sopan amat kalo gue tiba-tiba ngebatalin padahal elo dah ke sini jemput gue. Tapi beneran, Lies. Gue nggak bisa sekarang. Maaf banget.”
“Emangnya kenapa sih, Niq?” Lies jadi terlihat penasaran.
“Nggak kenapa-napa. Cuma gue kayaknya harus ke dokter deh.”
What? Lo sakit?”
“Bisa jadi malah parah. Doh, jangan sampe!” aku jadi ketakutan sendiri. “Udah ah. Daripada entar lo ketularan. Buruan, gih, berangkat jogging. Kasihan tuh si Mega nunggu lama,” Aku ingin Lies cepat pergi saat itu, karena aku sedang ingin sendiri. Ingin berpikir soal bibirku ini. Bukan kenapa-kenapa, aku rada cemas juga.
Demi melihat rautku yang tidak tampak bercanda, Lies mengangkat bahu, ”Oke, deh. Semoga lo nggak kenapa-napa, ya. Kalo kenapa-napa juga, ya tanggung sendiri!”
“Sadis! Iya, gue sebenernya cuma pengen diem sendiri aja dulu di rumah. Belum memutuskan ke dokter, kok.”
“Ya udah. Selamat semedi aja kalo gitu. Jangan nyesel, kalo gue ntar dapat cowok berperut kotak-kotak.”
Aku jadi tertawa. “Thanks, Lis. Tapi oleh-oleh cowok kotak-kotak nggak mungkin gue tolak. Ditunggu, ya!” responsku, bersamaan dengan beranjaknya ia dari kamar ini. Lies menjulurkan lidahnya, mengejekku, dan melambaikan tangan singkat.
Aku kembali menelusuri bayangan bibirku di cermin.
*
“Tahu nggak lo pada, setelah itu dia ngapain gue?” Di sebuah rumah kecil di kompleks tempat kami bertiga berkumpul siang itu, Lies asyik menceritakan pengalamannya.  Di rumah ini kami memang merasa aman bercakap tentang apa saja. Tidak akan ada yang menegur, meski volume bicara kami keras. Di sini kami tidak perlu bersusah-payah untuk tidak berisik. Tidak perlu menahan tawa cekikikan. Karena kami tahu, tidak ada yang bisa mendengar apalagi menegur, yang karenanya membuat kami malu. Rumah ini adalah tempat tinggal Lies belakangan. Orangtuanya membeli rumah ini sejak anak pertama mereka itu SMP. Mereka mendukung keinginan Lies belajar mandiri, meski masih SMA kelas XI. Barangkali karena rumah yang ditempati orangtuanya tidak jauh dari kompleks ini, sehingga mudah bagi mereka untuk mengawasi. Terkadang Lies mengajak juga adik lelakinya untuk menemani di situ. Soal makan, mudah saja. Tinggal jalan kaki, ambil dari rumah, atau membeli di warung makan dekat sini.
“Males aja kalo tinggal serumah bokap-nyokap. Soalnya, makin rame aja tuh rumah dengan pasien-pasien nyokap gue,” alasan Lies setahun lalu kepada kami ketika ditanya mengapa ia memilih tinggal memisah dari ortunya. Ibunya, Tante Risma, memang seorang bidan di kota ini. Ia membuka klinik bersalin di rumah dengan beberapa staf yang membantu. Tiap hari ada saja orang datang untuk periksa kandungan. Tidak jarang juga ibu-ibu itu datang untuk bersalin dengan diantar suami atau keluarga mereka. Tetapi Lies ternyata tidak nyaman jika harus berhadapan dengan kesibukan ibunya itu. Meski dia punya kamar sendiri, tetap saja terlihat olehnya kesibukan itu mulai dari muka rumah hingga pintu masuk yang memisahkan ruang praktek dengan ruang keluarga mereka. “Kalo bokap gue jadi renovasi rumah supaya lebih gede, mungkin gue mau tinggal sama bokap-nyokap lagi,” imbuhnya waktu itu.
“Emang kalian ngapain aja?” ternyata aku pun tidak sabar mendengar lanjutan cerita Lies tadi. Dia tertawa. Bikin aku penasaran. Mega dengan sabar menanti kelanjutan curhatan dan ngocolnya teman kami yang ekspresif ini.
“Hehe… pada penasaran kan kalian?” Dia juga pandai menahan-nahan cerita, seperti pada film suspense. Ih, jadi gemas sendiri, pengin bisa liat langsung peristiwa yang ngendon di memori otak anak itu. Jadi, meskipun dia belum bicara, aku sudah bisa tahu duluan. “Dia cium gue lamaaaa banget!” jawab Lies akhirnya.
“Omaigot…!” teriak Mega. Aku diam menanti kalimat-kalimat berikutnya. Pasti makin seru, nih.
“Bibir gue rasanya lemes banget,” lanjut Lies. “En’ nggak tau kenapa, gue kok ngerasa nikmaaat banget. Padahal tuh bibir kan tawar, nggak ada rasanya. Tapi kenapa nikmat, ya?”
“Mulai deh, lebay-lo keluar,” cercaku. Tapi di detik itu juga aku jadi ingat bercak-bercak kebiruan di bibirku. Diam-diam kuperhatikan dengan seksama bibir Lies.
“Terus pas gue lagi terlena gitu ama ciuman dahsyatnya, eh… dia… ngelepasin….”
“Yaaaah…. Kok dilepasin?” Mega protes. Aku masih asyik mengamati bibir Lies. Mencari bercak atau warna kebiruan.
“Dilepasin sebentar. Seperberapa detik gitu untuk ganti posisi.” Pintar juga tuh anak bikin orang tidak mau beranjak.
“Ganti posisi? Ma.. maksud…lo?” mendadak Mega gagap. Kayaknya otaknya mulai butuh cleaning service deh, tuh.
“Dia arahkan bibirnya ke bawah bibir gue, dagu gue… Ah, gile, Ga, Niq, ciumannya makin turun…, makin turun….”
“Ampuuun! Mauuu!” lagi teriak Mega. Lies memang seorang pencerita ulung. Dia gambarkan dengan detil, perlahan, apa yang sudah ia alami kepada kami teman se-gank-nya. Tanpa malu atau ragu sedikit pun. Deskriptif sekali. Tapi, hanya kepada kami pengalaman seperti itu dia ceritakan. Aku juga merasa paling nyaman bercerita apa pun kepada kedua sahabatku ini. Kami memang tiga serangkai yang hampir seluruh waktu di luar waktu belajar di sekolah dan berkumpul dengan keluarga di rumah, kami isi bareng. Ke mana-mana bertiga. Ngapa-ngapain bertiga. Mulai dari pertama kali daftar ekskul Vocal Group di kelas X dulu, main-main ke stasiun radio remaja kegemaran kami, jalan-jalan ke mal, ke event-event  yang diadakan majalah Gadis, sampai jalan-jalan mengeksplorasi kafe dan club. Hahaha… lucu sekali kalo ingat eksplorasi kami itu.  Tapi sekarang ini aku tidak hendak mengingat-ingat. Aku sedang mencari-cari sesuatu. Mencari kesamaan antara bibirku dan bibir Lies.
“Niq, elo kok bengong gitu sih, denger cerita gue?” tiba-tiba Lies memutus perhatianku pada bibirnya.
“Eh. Nggak. Emang harusnya gue gimana?” tanyaku bodoh.
“Ya, tanya kek, ketawa kek, atau teriak kek kayak Si Mega gitu,”
“Oh…, hehe…. Ya beda-bedalah respon orang. Nggak kreatif amat kalo sama. Lagian, gue juga bosen kale kalo terus-terusan teriak or nanya,” alihku.
“Yaelah, ngeles aja.”
“Sst…. Udah Lies, biarin aja. Terusin dulu ceritalo. Tanggung, nih!” Mega makin nggak sabar. Agaknya dia membayangkan Lies berubah jadi dirinya di cerita itu, sehingga dia bisa detil merasakan tiap inci ocehan anak itu.
Lies pun dengan bangga kembali memperdengarkan lanjutan kisah eksplorasi seksualnya. Dengan begitu dia telah menunaikan perjanjian kami. Dua minggu lalu kami, cewek-cewek yang suka cari hal-hal dan pengalaman baru, sepakat berekplorasi soal… hm…, seks. Tapi, kami batasi, lho: tidak boleh sampai hal yang terjauh yang kami anggap cuma cocok dilakukan pasangan menikah. Selama ini kan kalau pacaran kami hanya sebatas pegang tangan, cium pipi, kecup kening, atau paling jauh kecup bibir. Nah, dengan perjanjian itu, kami sepakat mengeksplor lebih dalam. Hitung-hitung mengenal lebih baik tubuh sendiri, terutama yang berhubungan dengan seksualitas. Ah, kalimat terakhir ini sebenarnya kucuplik dari artikel tentang pengantar pengenalan seksual untuk remaja yang pernah kubaca. Hehe…, aku juga jadi ingat teriakan Bobi, teman sekelas, sewaktu kami praktek soal alat reproduksi manusia di Lab Biologi kemarin. “Bu, sekali-sekali praktek betulan, dong. Masak meretelin mannequin doang!” usulnya asal bunyi pada Bu Rosita. Untung tuh guru killer nggak keluar asap dari lubang hidungnya.
Nah, kembali ke perjanjian eksplorasi tadi, karena kebetulan kami bertiga sedang menjomblo, kami putuskan melakukannya dengan cowok yang baru kami kenal. Tentu yang menarik hati. Karena merasa tidak pas kalau mencarinya di sekolah, kami pun mencarinya di club. Ya, club itu jadi langganan kami bertiga sejak 1 tahun lalu. Tidak seperti pada umumnya, tempat itu tampaknya dikhususkan bagi remaja seusia kami. Sebab yang datang semua sepantaran. Tidak seperti diskotek yang pernah kami ‘temukan’ beberapa waktu lalu dan tidak pernah kami datangi lagi lantaran hampir semua pengunjungnya pantas kami panggil Om dan Tante. Belakangan kami lebih sering ke club atau kafe yang pengunjungnya kebanyakan remaja sebaya. Frekuensi kunjungan kami meningkat karena proyek eksplorasi ini. Sekitar 2 kali seminggu kami clubbing. Dulu kan paling sebulan sekali.
Tahukah kamu, sejak mengenal clubbing, entah kenapa, waktu siang di sekolah, dengan waktu malam di club itu seperti dua dunia di kutub berlawanan bagiku. Di waktu siang atau terang di sekolah, aku selalu melupakan apa yang kualami di club malam sebelumnya. Selalu ingin menjauhkan dan tak mengingatnya. Kendati yang aku dan teman-teman lakukan di situ sekadar nge-dance plus cuci-cuci mata. Iya, gitu aja. Soal minum, paling coke. Ya, pernah juga wine, sih. Tapi pasti nggak pernah lebih dari 1 gelas. Drugs? Sorry, ya, sama sekali nggak kami sentuh, tuh! Ketika malam di club, aku pun tidak ingin membicarakan dan mengingat sekolah. Buatku, siangku adalah ril, sedang malamku di club adalah fantasi. Maka, ketika suatu siang di suatu mal cowok itu memanggilku saat berpapasan, aku jadi gamang. Lalu pura-pura tidak kenal. Bagaimana tidak. Dia cowok di dunia malamku!
Belakangan, aku malah ingin melupakan cowok malamku itu sama sekali. Termasuk ketika malam. Tahu kenapa? Dialah penyebab bercak kebiruan di bibirku!
*
“Jelas, Lies. Ini karena dia. Bukan karena ciuman. Buktinya, bibirlo nggak kebiruan en’ nggak ada bercak kayak bibir gue.” Kalimatku mengandung emosi. “Kayaknya dia udah nularin gue, Lies.”
“Tenang, Niq. Maksudlo nularin apa, sih?” Lies mengamati bibirku.
“Wah, iya ya…, bibirlo kebiruan,” komentar Mega sambil juga mengamati bibirku.
“Padahal ciuman itu kan udah 2 minggu lebih, tapi birunya belum ilang-ilang!” jelasku hampir teriak.
“Ck..ck..ck…. Dahsyat juga tuh, ciuman si Hendra. Hahaha…. Gue aja belom kesampaian sama Agus,” Mega tergelak.
“Gebleg. Justru gue khawatir….”
“Khawatir apaan? Takut hamil? Nggak ilmiah amat sih, lo!” Lies mencibir.
“Sialan lo. Dengerin, nih: Gue takut dia nularin AIDS ke gue!”
“Hah?!”
“Apa, Niq?”
*
“Kenapa kamu mau jadi relawan di sini?” seorang bapak muda di hadapanku ini bertanya dengan santai. Ia bersandar ringan di tembok belakang meja kerjanya. Kedua tangannya dilipat di dada setelah melepaskan pena yang sejak tadi dipegang. Kami berada di ruang rapat kecil sebuah LSM. Aku dipanggil wawancara setelah 1 minggu sebelumnya mengirimkan lamaran.
“Ya, saya ingin ikut menyosialisasikan HIV/AIDS kepada banyak orang, terutama anak-anak sekolah.”
“Memangnya kenapa orang-orang itu perlu disosialisasikan?”
“Masih banyak yang belum paham!” jawabku antusias nyaris geram. “Sekitar sebulan lalu saya juga gitu. Bahkan sempat nuduh orang menularkan HIV kepada saya,”
“Oya? Kenapa begitu?”
Dengan menguatkan hati mengingat keluguanku kemarin, kujawab, “Itulah bodohnya. Cuma karena ada bercak kebiruan di bibir yang tak hilang-hilang!”
“Apa? Bercak biru? Memangnya kenapa bibirmu?” tanyanya dengan mata mencari-cari.
“Bercak itu cuma bertahan 3 minggu aja, kok, Pak. Sekarang sudah hilang. Dan itu sama sekali nggak ada hubungannya dengan HIV/AIDS. Memalukan!”
Dia tertawa. Agaknya mulai bisa menerka apa penyebab birunya bibirku. Doh, malu aku. “HIV/AIDS itu hanya menular melalui jarum suntik atau perantaraan darah dan hubungan intim, lho,” katanya kemudian.
“Iya, akhirnya saya tahu itu dari brosur dan buku pelajaran Biologi yang sekarang.”
Pak Rido, bapak muda yang adalah Direktur LSM yang giat melakukan kampanye pencegahan HIV/AIDS ini, mengangguk. Lantas, kudengar ketukan di pintu.
“Nah, ini Hendra, kordinator relawan di sini. Jadi, nanti Hendra juga akan wawancara kamu sebentar,” tiba-tiba saja Pak Rido memperkenalkan orang yang mengetuk daun pintu yang tak dikatupkan itu.
Aku tiba-tiba tercekat.
“Lho, kamu?” alih-alih menyebutkan nama, cowok itu malah terpana.
OMG, apakah dunia malam dan siangku sudah berdiri di satu kutub sekarang? Atau…cowok ini memang punya peran di dunia siangku? Hendra? Tanpa sadar kuraba bibirku. Blur. Aku mendadak ingin tenggelam masuk ke dasar bumi.

0 comments:

Post a Comment

 
Top